Selasa, 27 Januari 2015

Karena Engkau Turut Berpartisipasi Mewujudkannya

Ibu, mungkin tulisan ini tak akan sebanding dengan segala pengorbanan yang engkau telah berikan untuk diriku, tapi semoga menjadi salah satu bukti bahwa kita pernah bersama mengarungi berbagai aral kehidupan. Seberat apapun ujian tersebut, engkau telah membuktikan dan mengajarkanku bahwa kita mampu.
Ibu, semangat dan dukungan yang terus mengalir darimu bagai katalisator yang mempercepat reaksi pendewasaan, juga seperti bahan organik yang mampu merekatkan agregat tanah sehingga tak mudah hancur meski berbagai gangguan diberikan. Satu momen yang masih terekam jelas dalam memori ingatanku adalah saat-saat terakhir dimana akhirnya kita harus berpisah, demi masa depanku dan perbaikan keluarga kita. Saat engkau mengantarkanku hingga ke kamar asrama mahasiswa (tempat tinggal baruku selama satu tahun ke depan), engkau yang berusaha sekuat tenaga untuk tetap terlihat tegar di hadapanku berbisik, "Empat tahun lagi ibu ingin kembali lagi kesini untuk melihat kamu menjadi SARJANA dari perguruan tinggi ternama ini. Ibu yakin kalau Wulan pasti bisa, doa Ibu menyertai".
Sungguh, waktu itu perasaanku tak karuan. SEDIH! Karena ini adalah kali pertama saya tinggal jauh dari keluarga dan langsung di perantauan untuk memperjuangkan masa depan saya dan keluarga. Hari-hari pertamaku di asrama begitu kelabu. Susah tidur, gak enak makan, dan macam-macam rasanya. Hal serupa juga dialami teman-temanku, namun ketika mengingat kembali tujuan awal kita datang kemari adalah untuk mengukir senyum kebahagiaan dan kebanggaan bagi keluarga.Sejak saat itulah aku mulai belajar menjadi dewasa seperti yang Ibuku inginkan.
Hari demi hari berlalu, tanpa terasa saat ini aku akan memasuki semester kelima. Kembali, Allah SWT memberikan jalan bagi Ibu dan keluargaku untuk menginjakkan kakinya di Bogor dalam momentum yang sama, yakni mengantarkan anaknya (adikku) ke gerbang perguruan tinggi untuk mencari kumpulan rahasia Allah yang tersembunyi di balik buku, dosen, atau bahkan alam raya ini.
Ya, adikku diterima di kampus yang sama denganku. Tak ku sangka dari seorang ibu dan bapak yang hanya orang biasa dan lulusan SMA mereka mampu mendidik dan membekali kami hingga ke gerbang perguruan tinggi. "Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?" Tak nampak sama sekali guratan lelah di wajahmu, justru semangat yang menggebu-gebu yang engkau tunjukkan. Kembali engkau menyulut semangat dalam hati ini, dengan mengingatkanku akan batas waktu studiku yang normalnya tinggal 2 tahun lagi dan Ibu sangat ingin melihat aku diwisuda. Saat itu, jujur rasa pesimisku sedang menguasai sehingga aku menceritakan kondisi akademik di jurusanku yang luar biasa butuh kesabaran dan proses panjang untuk menjadi lulusan berkompeten dari sini. Tapi, engkau tak sedikitpun khawatir atas hal itu. Engkau tebarkan kembali benih-benih optimis dalam jiwaku dan disitulah aku diminta berjanji untuk bersungguh-sungguh dalam merealisasikannya.
Waktu mengantarkanku pada puncak perjuangan guna meraih gelar Sarjana. Allah SWT Yang Maha Baik atas segala karunia-Nya, Ia menunjukkan beberapa kemudahan bagiku dalam proses ini. Namun jalan hidup memang tak senikmat yang kita inginkan. Kerikil-kerikil kecil mulai mewarnai jalan juangku, dari mulai sulitnya menemui dosen, netbook kesayanganku yang mendadak mati total, minimnya input perbaikan dari dosen atas apa yang sudah aku lakukan berkenaan dengan peneitian ini, hingga tak bisanya aku melangkah ke tahapan seminar hasil dikarenakan saat itu aku masih mengambil 1 mata kuliah penunjang (minor), dan puncak ujian tersebut adalah terpaksa aku harus menjalani rawat inap dikarenakan aku terkena typus.
Disinilah aku begitu merasa bersalah terhadap ibuku. Aku mencoba untuk tetap bertahan dan berusaha untuk sehat di perantauan ini. Teman-teman ku juga begitu sabar merawat selama 3 hari pertama, tapi ternyata tubuhku justru membutuhkan hal yang lain. Selama 3 hari itu pula aku kesulitan untuk mengkonsumsi makanan, minum pun susah. Apapun yang masuk ke dalam tubuh, beberapa menit setelah itu langsung akan keluar kembali. Kini aku benar-benar menyerah, aku terima tawaran ibuku untuk penjemputan dari Bogor dan menjalani rawat inap di Cirebon.
Aku sedih, karena aku yakin pasti Ibu tak henti-hentinya menangis mendengar kondisiku di perantauan seperti saat ini. "Di setiap akhir shalatnya ia selalu menangis dan berujung pada kegelisahan yang teramat sangat terhadap diriku. Maka Bapak meminta Ibu untuk segera menjemputku. Ketika aku mengabari bahwa aku setuju untuk menjalani rawat inap disana, ibu segera meluncur, menempuh jauhnya jarak Cirebon-Bogor (padahal saat itu waktu menunjukkan pukul 22:00 WIB)", begitu cerita adikku yang kecil yang saat itu turut menjemput. Ya Rabb, semoga Engkau menjaga ia untukku..
Keesokan paginya begitu mendengar suara Ibuku mengucapkan salam di depan pintu rumah kost, air mata ini tak lagi terbendung. Aku merasa sangat bersalah atas kejadian ini, tapi Ibu lagi-lagi tak mempermasalahkan hal itu. Karena hanya satu yang ia inginkan, ia ingin aku segera sembuh agar bisa melanjutkan perjuanganku disini.
Setelah beristirahat kurang lebih 1 jam, kami bergegas untuk kembali ke Cirebon agar aku bisa segera ditangani oleh dokter. Sepanjang perjalanan tak banyak yang aku lakukan, hanya bisa mengeluhkan pusing dan panas. Tak banyak makanan yang dapat aku konsumsi, tapi Ibu menyemangatiku untuk terus mencoba agar tenagaku bisa segera pulih, menasihatiku agar bersabar dalam menghadapi ini semua karena ini bentuk kasih sayang Allah pada hamba-Nya. Entah mengapa perjalanan kali ini terasa begitu panjang sehingga menghabiskan banyak waktu. Aku meminta untuk berhenti sejenak karena ingin ke toilet. Begitu terbangun, celakanya tak ada yang aku lihat selain cahaya putih. Seketika aku merasa cemas dan dengan cekatan Ibu memapah langkahku. Terima kasih ya Allah.. Engkau telah mengirimkan malaikat terbaik untuk hidupku. Sosok perempuan yang luar biasa sabar, penyayang, kuat dan best mom everywhere, everytime for me. Jagalah ia untukku, sebagaimana ia telah menjagaku selama ini bahkan hingga detik dimana malam-malam di rumah sakit. Aku melihat guratan lelah di wajahnya karena saat menjemputku di Bogor, bertepatan setelah acara pernikahan kakakku. Ia tak peduli kondisi fisiknya yang mungkin lelah hanya demi kesembuhan diriku.

Engkau menjadi penawar di setiap risau yang ku rasakan..

Satu per satu tahapan ku lalui, seminar hasil yang selama ini menjadi hal yang sangat aku tunggu-tunggu telah berlalu, sidang skripsi yang luar biasa karena dilaksanakan saat ramadhan dan ini merupakan sidang skripsi pertama di jurusan yang diadakan pada waktu sepagi itu (semoga berkah ke depannya), revisi, mengejar kesempatan wisuda bulan September 2014. Aku tentu punya alasan sendiri mengapa aku begitu menggebu-gebu untuk mendapatkan quota wisuda di bulan tersebut. Air mataku menetes saat itu, kala senja sudah muncul dan siap menutup hari. Waktu itu tepat satu hari sebelum waktu kepulangan ku ke rumah guna merayakan Idul Fitri dengan tenang di tengah keluarga, begitulah rencanaku. Tapi Allah punya rencana lain, saat itu SKL ku telat dalam pemrosesan, sehingga begitu seesai loket pendaftaran wisuda sudah tutup. Petugas loket pun tak mau berkompromi, hanya ada dua pilihan: menunggu sampai hari Senin pagi atau wisuda bulan November 2014. Karena perkara itu aku menangis, aku sedih karena ternyata di penghujung perjuanganku pun Allah masih ingin melihat kesungguhan ku. Demi baktiku kepada orang tua, aku tak ingin menjadi beban tersendiri bagi mereka, aku ingin pulang dengan membawa kabar gembira sekaligus undangan resmi yang mengajak orang tuaku ke Gedung perhelatan prosesi Wisuda Lulusan Institut Pertanian Bogor. Rintik hujan menemani soreku, di depan perpustakaan kampus yang tengah sunyi karena penghuninya telah berada di kampungnya masing-masing. Aku menangis seorang diri, sambil mendengar sayup-sayup suara nun jauh disana yang coba menenangkan kerisauan ini dan mengajakku untuk berfikir secara jernih. Pengorbananku beberapa hari untuk menahan tidak pulang ke kampung hingga menyelesaikan semuanya itu akan terbayar lunas saat sudah ada kepastian bahwa aku mendapat 1 kursi untuk menjadi wisudawati IPB di bulan September sekaligus wisuda luar biasa karena bertepatan dengan Dies Natalis IPB.

Dan... tiba di hari bahagia itu (3 September 2014)
Momentum wisuda bagi lulusan Institut Pertanian Bogor, begitu selesai acara ibuku langsung memeluk erat tubuh ini dan menangis tiada henti. Ibu, maafkan aku yang belum bisa mempersembahkan yang terbaik untuk dirimu. Terima kasih telah banyak berpartisipasi dalam mewujudkan mimpi-mimpiku. Semoga Allah yang akan membahagiakanmu dan menjagamu serta mengumpulkan kembali kita di jannah-Nya.. Aamiin..

== Tulisan ini disertakan dalam kegiatan Nulis Bareng Ibu. Tulisan lainnya dapat diakses di website http://nulisbarengibu.com”  ==

Tidak ada komentar:

Posting Komentar