Rabu, 21 September 2016

Qadarullah, Semua Karena Cinta-Nya

Setiap manusia terlahir dengan kisahnya masing-masing. Kisah tersebut kadang seperti di negeri dongeng, terlalu sempurna, terlalu tragis, terlalu penuh ratapan, atau lainnya. Yang pasti, semua tak luput dari ketentuan-Nya (Rezeki, Ajal, Amal, serta Kebahagiaan dan Kesedihannya -HR. Bukhari dan Muslim).
Ada satu kisah tentang 2 anak manusia yang ditakdirkan saling mengenal. Mungkin sebenarnya mereka sudah kenal pribadi masing-masing sebelum masa itu, tapi Allah ingin mereka mengenal satu sama lain dalam momentum yang berbeda. Panggilan kebaikan di hati masing-masing cenderung tak terbedung. Kegelisahan melihat dan merasa prihatin atas kondisi interaksi 2 jenis manusia saat ini menggerakkan diri masing-masing untuk berproses dan bertekad memperbaiki kondisi dengan cara menggenapkan separuh agamanya. Mereka bukan tak kenal sebelumnya, mungkin sudah pernah berinteraksi, atau sekadar mendengar sikap dan sifatnya dari orang terdekat, atau bisa jadi sebenarnya mereka sudah bertegur sapa saling melempar senyum di lauhul mahfudz sana. Yang pasti keduanya hanya menjalankan apa yang sudah Allah skenariokan di kehidupannya masing-masing. Sebut saja usaha mereka itu dengan ta'aruf.
Dari forum ta'aruf ini, bukan sesi final dimana akhirnya mereka akan bersatu. Justru ini baru awalan, jika memang kedua pihak setuju (begitu juga keluarga besar) insya Allah berakhir sesuai harapan. Namun, apabila ada hal-hal yang dirasa berat dan sulit dikondisikan ini berarti harus sama-sama ikhlas dan dewasa untuk melepaskan. Pada prinsipnya, Allah akan memudahkan segalanya jika memang dia takdir bagi diri kita. Dan Allah juga yang akan mendesain sedemikian rupa kondisinya jika memang bukan yang terbaik untuk diri kita. Bukan hal yang sulit bagi Allah untuk mendekatkan orang-orang yang berjodoh, dan bukan hal yang sulit pula menentang atau menjauhi orang-orang yang tidak ditakdirkan bersatu.
Setelah menempuh beberapa tahapan dalam proses tersebut, keduanya menemukan kondisi dimana tak ada lagi yang dapat diupayakan kedua pihak untuk merealisasikan keinginan tersebut. Tuntutan dan harapan dari keluarga masing-masing menjadi pengganjal waktu itu. Sedangkan 2 insan ini, adalah sosok yang menyayangi keluarga. Hingga pada satu titik mereka menyadari bahwa jodoh itu berada di tangan Allah. Sebagai manusia kita hanya diperintahkan untuk berupaya menjemputnya lewat jalan yang baik, karena pernikahan merupakan ikatan yang suci (kekuatan ikatannya setara dengan perjanjian antara Allah dengan para Nabi), maka harus ditempuh dengan cara yang suci pula.
"Ketika sepasang manusia ditakdirkan untuk berjodoh, maka Allah akan melakukan berbagai cara untuk mempersatukan mereka. Namun apabila belum berjodoh, mau dibantu (meyakinkan) oleh orang se-RT bahkan se-Desa sekalipun Allah tak akan membukakan jalannya", demikian yang coba disampaikan oleh pria tersebut.
Keduanya diberi waktu untuk mengambil keputusan terbaik dibawah arahan dari guru ngajinya masing-masing. Dan sejujurnya di antara mereka pastilah tak ingin proses ini berakhir dengan ketidaksesuaian. Hingga akhirnya salah satu dari mereka memutuskan untuk mengakhiri proses ini dengan baik. Keduanya mencoba untuk berlapang dada, mungkin inilah cara Allah menakdirkan mereka untuk saling mengenal lebih jauh pribadi dan keluarga masing-masing. Apapun yang diketahui dari proses kemarin, itu adalah amanah bagi diri masing-masing. Haruskah memendam rasa kecewa atau trauma? Tentu tidak jawabannya.
"Jika Allah berkehendak, Allah akan mempertemukan kita kembali sesuai dengan keinginan kita. Kita sama-sama diberikan kesempatan untuk memperbaiki diri. Apabila suatu saat nanti kau temukan sosok yang sholih, mohon untuk tidak menolaknya. Siapa tahu dialah takdir jodohmu", demikianlah pesan terakhir yang pria tersebut sampaikan. Mereka bersepakat maksimal 2 tahun kemudian jika memang ada rezeki untuk bersama, salah satunya akan kembali.
Waktu berganti seiring bergantinya siang dan malam. Terhitung 4 kali sudah pergantian musim. Kehidupan mereka kembali seperti semula, tak ada tegur sapa apalagi ikhtiar untuk berbagi kabar. Karena kini di antara mereka sudah tak ada lagi ikatan apa-apa. Mereka hanya bagian masa lalu bagi yang lain. Dan ada amanah yang masih harus dijaga sampai kapanpun. Ah, mungkin bagi kaum pria hal ini mudah untuk dilupakan. Apakah hal itu juga yang dapat diatasi oleh kaum perempuan?
Ketika hati mulai tergerak kembali untuk mewujudkan cita-cita mulia itu, perempuan tadi mencoba meminta fasilitator kembali untuk bertanya bagaimana kondisi pria tersebut. Saat itu, yang didapat adalah penjelasan ke-belum-siap-an dari pihak prianya.
Baiklah, itu tak menjadi masalah artinya bagi perempuan ketika ada laki-laki sholih lain yang datang memintanya. Meskipun tak dipungkiri, sisi subjektif yang mengagumi kesempurnaan sosok yang pernah dikenalnya itu masih ada. Akan tetapi, kita harus menyadari bahwa mungkin di luar sana ada kekuatan yang Maha Dahsyat, yang menggetarkan arsy-Nya, yang didengar dan dijaga oleh Allah, yakni doa sosok lain yang ingin bersatu dengan kita. "Ketika kita tidak bersatu dengan orang yang sering kita sebut-sebut dalam doa kita, yakinlah bahwa akan menyatukan kita dengan orang di luar sana yang memohon-mohon pada Allah untuk dipersatukan dengan kita".
Semua berproses seiring perjalanan waktu. Begitu pula keduanya, mereka berupaya menjemput jodohnya dengan caranya masing-masing. Dalam ikhtiar tersebut, pastilah mereka berharap takdir terbaik kini berpihak padanya. Qadarullah!  Karena kuasa Allah tibalah pada satu waktu yang terbaik bagi keduanya. Mereka berjodoh, di waktu yang sama namun dengan takdirnya masing-masing. Semua itu karena bentuk Cinta dan Kasih sayang Allah pada hamba-Nya.
Jodoh adalah tentang seseorang yang tepat, di waktu yang tepat.

Senin, 18 Juli 2016

Jodoh dari Allah (part 1)

Siapa yang tahu?
Kita hanya diperintahkan oleh-Nya untuk berikhtiar sebaik mungkin, agar mendapatkan seperti yang dituliskan pada QS An-Nur ayat 26:
“… wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula)…”
***************************************************************************************
Dalam suatu perjalanan yang ditempuh kurang lebih selama 3 jam, aku tak menemui seorang kawan yang duduk bersama. Dalam hatiku saat memasuki stasiun kereta, kemungkinan akan ramai karena sudah mendekati waktu ‘mudik’. Maklumlah, mereka bernasib sama seperti diriku yang mencoba menggantungkan kehidupan lahiriah-ku di perantauan. Sehingga momentum Hari Raya menjadi suatu yang dinantikan untuk dapat berkumpul bersama keluarga dan sanak saudara.
Setelah melakukan proses check-in, saya mampir ke mushala untuk mengambil air wudhu. Maklumlah karena keberangkatan pada waktu sholat, jadi agar tak khawatir dan ribet harus mengambil wudhu di toilet kereta, pikirku. Tak berlama-lama, aku bergegas menuju peron kereta karena saat kulihat jam tangan sudah mendekati waktu keberangkatan.
Begitu memasuki kereta, amazing! Barang bawaan mereka sangat banyak, sedangkan aku hanya membawa ransel dan plastik titipan barang-barang lebaran untuk orang tua di rumah dari kakakku yang sempat dititipkan tadi sebelum keberangkatan. Karena belum terlihat tanda-tanda ada yang menduduki bangku di sebelahku, dengan santai ku tata barang bawaanku agar tak mendzolimi orang lain. Tak terasa, kereta pun perlahan meninggalkan peron pemberhentian. “Hmm.. nampaknya tak ada yang duduk di sebelahku”, gumamku dalam hati.
Sebelum akhirnya kereta menaikkan penumpang dari stasiun selanjutnya, aku bergegas melaksanakan shalat dzuhur. Sampai di stasiun selanjutnya, ternyata tak juga ada yang menduduki bangku sebelahku, akhirnya aku bergeser ke dekat jendela lalu membaca beberapa lembar ayat Al- Qur’an.
Perjalanan mengantarkanku melintasi beberapa kota dari Jakarta menuju Cirebon. Sungguh luar biasa dengan adanya transportasi memudahkan orang untuk berpindah dari suatu daerah ke daerah lain hanya dalam hitungan jam. Ketika sampai di Stasiun Haurgeulis (Indramayu), barulah aku terkaget karena ada seorang petugas pengamanan kereta api yang mengantarkan seorang Bapak-Bapak tua dan duduk di sampingku. Karena aku mulai lelah dan mengantuk (karena 2 malam terakhir istirahat yang kurang baik), akhirnya aku memilih untuk tidur.
Ketika terbangun, aku masih canggung untuk memulai pembicaraan. “Apa juga yang harus kubicarakan dengan Bapak Tua yang berpakaian ala ulama di sampingku ini. Salah-salah bisa-bisa aku diberi ceramah panjang lebar :-D”
Nampaknya, Bapak Tua di sampingku membaca gelagat ku dan Beliau memulai pembicaraan dengan menanyakan identitasku dan melontarkan ayat Al-Qur’an tentang perintah untuk saling mengenal sesama umat muslim (QS. Al-Hujurat: 13).
Percakapan antara kami berdua mulai meluas, hingga di satu titik menanyakan tentang tujuan perjalananku siang hari ini. Lalu aku katakan, “dalam rangka mudik lebaran”. Kemudian Pak MA (inisial aja yak), mengingatkan saya akan aturan bepergian bagi seorang muslimah yang di antaranya harus disertai dengan mahromnya. Sungguh, aku tak bisa bicara apa-apa. Dalam hatiku langsung “duk”, berasa ada yang nyangkut gitu. Apalagi dengan diberondong pertanyaan berikutnya seputar ‘jodoh’.
Bagiku, perkara jodoh bukanlah dia yang hanya sesuai dengan ekspektasi ku. Itu sudah aku kubur dalam-dalam begitu aku sadar bahwa jodoh juga berkenaan dengan ridho orang tua (karena di dalamnya pasti ada ridho-Nya). Maka ketika ditanya, “kenapa belum menikah sampai usia saat ini?”, ya dengan kesadaran hati aku jawab, “Aku bukan hanya mencari pasangan buat diriku, tapi juga seorang imam yang bertanggung jawab sepenuh hati atas diriku, anak bagi orang tuaku, ayah bagi anak-anakku kelak, adik bagi kakakku, dan kakak bagi adik-adikku. Dan aku masih berharap, dengan kehadirannya mampu membawa perubahan keluargaku yang lebih baik. Aamiin..”.
Seketika, Bapak tersebut mengucap hamdalah, karena saat ini masih menemukan sosok sepertiku. Di tengah maraknya beragam kenakalan remaja dan ke-egois-an anak-anak yang minta berjodoh dengan seorang yang dicintainya tanpa mengingat restu orang tua. Kemudian, diluar dugaan aku Beliau mendoakan agar kelak aku mendapatkan jodoh yang memang benar-benar Allah swt gariskan untukku (AAMIIN….)

to be continued

#train #mudik #IdulFitri1437H

Senin, 20 Juni 2016

POTRET AYAH DALAM AL QUR’AN DAN PERANANNYA DALAM MEMBANGUN PERADABAN KELUARGA

Oleh: Ust. Syafi'ie El Bantanie
Dalam Kajian Dhuha DKM Al-Insan DD Pendidikan

"Sesungguhnya Allah telah memilih Adam, Nuh, keluarga Ibrahim, dan keluarga 'Imran melebihi segala umat (pada masa masing-masing)" (Ali Imran: 33)

Allah swt. telah memberikan beberapa profil keluarga Nabi untuk dijadikan teladan. Berdasarkan ayat di atas disebutkan ada sosok-sosok teladan ayah yang luar biasa sepanjang masa, ia adalah Nabi Adam as., Nabi Nuh as., Nabi Ibrahim as., dan Imran. Nabi Adam as. dan Nabi Nuh as. tidak disebut beserta keluarganya, karena keluarganya enggan beriman kepada Allah swt dan mempercayai risalah yang dibawanya. Berikut sedikit kisah inspiratif yang dapat dijadikan teladan untuk para ayah dan calon ayah masa kini;
1. Nabi Adam as. sosok lelaki luar biasa yang dimuliakan Allah swt. selain sebagai manusia pertama di muka bumi, Allah juga memuliakannya dengan cara memerintah malaikat untuk bersujud kepadanya. Allah swt tidak meminta kita untuk mencontoh keluarganya, karena anak-anak Nabi Adam as. (Habil dan Qabil) memiliki dua sifat yang berbeda. Pada saat mereka berqurban, Habil berkurban karena Allah, lalu kurbannya diterima. Tetapi Qabil berkurban bukan karena Allah, dan kurbannya tidak diterima. Qabil dengki kepada Habil. Lalu, Habil dibunuh olehnya.
2. Nabi Nuh as. anak-anak dan istrinya tidak mau mengikuti perintah Nuh as. untuk naik ke dalam perahu manakala Allah swt. akan menurunkan azab atas kedzaliman kaum Nabi Nuh as. Mereka menolak, lalu menaiki bukit. Ketika air bah datang dan hamppir menenggelamkan keluarganya, Nabi Nuh as muncul sisi ke-ayah-annya (TQS Hud 44-48).

Adapun profil Keluarga Nabi yang dijadikan contoh:
1. Nabi Ibrahim as. ayah dari Ismail as. dan Ishaq as. yang sudah jelas keshalihan dan kepemimpinannya. Hampir seluruh keturunan Ibrahim as. menjadi pemimpin (tak lain berkat doa yang dipajatkan oleh Beliau juga). Nabi Ibrahim as. sosok ayah yang sangat tunduk dan patuh kepada Allah swt. Hal yang sangat menyedihkan bagi dirinya adalah manakala penantian panjangnya atas kehadiran anak di tengah-tengah keluarga telah terwujud, Beliau mendapat perintah dari Allah swt. untuk menyembelih anak kesayangannya.
2. Keluarga Imron , satu-satunya profil keluarga yang bukan berasal dari kalangan Nabi namun dimuat dalam Al-Qur'an. Istri Imron, Hannah merupakan sosok seorang yang shalihah, sehinga berhasil melahirkan anak-anak yang luar biasa seperti Maryam dan Harun. Profil Istri Imron, termaktub dalam surat Ali Imron 34-37.

Untuk dapat menjadi sosok suami dan ayah yang baik, maka kaum laki-laki perlu mempersiapkan:
1. Sholeh sebagai individu, sehingga mampu menshalihkan istri dan anak-anak. Sebagaimanan nasihat Imam Syafi'i, “Perbaikan diri sendiri merupakan awalan untuk memperbaiki keturunanmu, bagaimana cara pandangmu menentukan cara pandang untuk anak-anakmu”.
2. Mampu mendidik istrinya dengan baik. Kisah durhakanya anak Nabi Nuh as, sedikit banyak ada kontribusi seorang istri. Istri yang tidak sholihah dan dibiarkan oleh suaminya akan berdampak pada anak-anaknya. Ketidakseragaman dalam menjalankan visi keluarga menimbulkan dualisme pembinaan dalam keluarga.
Nabi Muhammad saw. memang mempunyai istri yang banyak, namun Ia berhasil menshalihkan dan mendidik seluruh istri-istrinya. Sampai-sampai Aisyah ra. merasa sangat cemburu kepada Khadijah Al Qubro karena Rasulullah saw selalu menyebut-nyebut namanya meskipun Khadijah sudah tiada. Ketika Aisyah protes, Rasulullah menjawab bahwa Khodijah adalah orang yang pertama beriman kepadaku disaat yang lain mengingkari, ia yang mensupport dakwahku disaat yang lain mengacuhkanku.

Kriteria keluarga yang baik menurut Al-Qur'an juga termaktub dalam QS Ibrahim ayat 35-41:
1. Menjadikan rumah tempat tumbuh kembang anak yang aman dan nyaman. Hal ini merupakan konsekuensi dari visi dan misi bersama antara suami dan istri.
2. Tanamkan tauhid dan iman sedini mungkin
3. Ajarkan ibadah sedini mungkin; mentoleransi sampai batas memasuki masa baligh
4. Memastikan memberikan rizki yang halal pada anak-anak kita

Notulen: WA

Jumat, 17 Juni 2016

PERAN MUSLIMAH DALAM MEWUJUDKAN KELUARGA SAKINAH, MAWADDAH, WA RAHMAH

Oleh : Ibu Liawati
Dalam Kajian Keputrian 17 Juni 2016 DKM Masjid Al Insan

Foto by: INM

"Pernikahan bahagia bukanlah bab menemukan pasangan yang ideal dan sempurna.
Juga bukan tentang bagaimana bisa selalu rukun tanpa konflik di sepanjang kehidupan berumah tangga. Pada kenyataannya, tidak ada manusia sempurna di zaman kita hidup sekarang ini. Semua orang memiliki kekurangan, kelemahan dan sisi negatif lainnya". (Ust. Cahyadi Takariawan)

“Dan di antara ayat-ayat-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu merasa nyaman kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu mawadah dan rahmah. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir” [Ar-Rum 21].

1.       Definisi Sakinah, Mawaddah, Rahmah
Sakinah : tenang, merasa aman, dilindungi, terhormat, penuh kasih saying, mantap, dan memperoleh pembelaan. Dalam QS Ar-Rum: 21 terdapat kata “litaskunu ilaihaa”, ini berarti Allah menjodohkan manusia (berpasang-pasangan) dalam rangka meraih rasa tentram, nyaman, penuh kasih sayang satu sama lain. Bertemunya dua orang dari keluarga dan latar belakang yang berbeda, tentu membutuhkan waktu untuk saling beradaptasi. Gejolak terasa sangat keras dalam rentang waktu 3-6 bulan pertama, dibutuhkan kerja keras untuk memahami satu sama lain.
Sakinah merupakan pondasi yang harus dikuatkan dalam membangun rumah tangga, karena berasal dari sakinah inilah muncuk mawaddah dan rahmah.
Mawaddah : jenis cinta yang membara, menggebu-gebu kepada lawan jenis (pasangannya) karena adanya hawa nafsu yang menyertai dalam mencintai pasangannya. Setiap makhluk Allah diberikan rasa mawaddah (termasuk binatang). Mawaddah ini cenderung kepada yang bersifat material/fisik: kecantikan, tinggi badan, dsb.
Rahmah : Ampunan, anugrah, karunia, belas kasih, kasih sayang, rezeki.
Rahmah disini memiliki pengertian: jenis kasih sayang yang lembut, siap berkorban untuk menafkahi dan melayani, serta melindungi satu sama lain. Rahmah bersifat qalbiyah, yang kemudian berubah wujud menjadi nyata dalam perilaku dan interaksi keseharian antara pasangan suami istri.

2.       Ciri-ciri Keluarga Sakinah, Mawaddah, Rahmah
  • Suasana dalam keluarga penuh dengan nilai-nilai islami; tegaknya syariat Allah swt di dalamnya
  • Yang muda menghormati yang tua, yang tua menyayangi yang muda
  • Santun dalam bergaul, sederhana dalam berbelanja, membudayakan saling menasihati, dan saling belajar
  • Hubungan antara suami istri harus atas dasar “mencintai dan menyayangi karena Allah. Saling percaya dan saling melindungi (TQS Al Baqarah: 187). Jangan sering curhat apalagi membuka aib pasangan kepada orang lain sekalipun itu teman dekat. Kalaupun terpaksa harus bercerita, carilah orang yang dapat membantu penyelesaian masalah yang dihadapi.
  • Suami istri harus memperhatikan kondisi sosial. Dalam hal mahar, nafkah, dan cara bergaul harus mengutamakan kema’rufan.
  • Memperhatikan culture yang berbeda. Apabila suami istri berasal dari suku yang berbeda, maka harus saling belajar dan memahami kebiasaan masing-masing.
  • Suami istri secara tulus menunaikan hak dan kewajibannya
  • Semua keluarga beriman dan taqwa, menjadikan hukum-hukum islam sebagai pedoman hidupnya
  • Rezeki yang dihasilkan untuk menafkahi anak (dan istri) berasal dari harta yang halal
  • Anggota keluarga selalu ridho atas ketentuan Allah dan ikhlas atas takdir yang digariskan

Membangun keluarga yang sakinah, mawaddah, wa rahmah bukan hanya tanggung jawab suami atau istri saja. Namun perlu adanya suatu kolaborasi, saling belajar, memahami, dan menasihati dalam kebaikan dan kesabaran. Pasangan suami istri harus mampu mengoptimalkan nilai-nilai baik yang mereka bawa dari keluarganya masing-masing demi mewujudkan keluarga yang lebih baik dari sebelumnya, meminimalisir atau bahkan mengikis habis kebiasaan-kebiasaan tidak baik yang ada pada keluarga sebelumnya.
Maka setiap orang (laki-laki maupun perempuan) berkewajiban untuk mencari calon pasangan dan calon orang tua bagi anak-anaknya dari golongan yang baik. Adapun kriteria memilih pasangan yang baik antara lain:
  • Shalih/shalihah
  • Mengutamakan keimanan dan ketaqwaan
  • Memilih pasangan dari keturunan keluarga yang terjaga kehormatan dan nasabnya
  • Niatkan menikah untuk beribadah kepada Allah swt
  • Harus memilih pasangan berdasarkan pemahamannya kepada ilmu-ilmu dasar tentang keluarga (paham tanggung jawab, hak dan kewajiban suami istri)
  • Suami istri mengenali kekurangan dan kelebihan pasangannya
  • Komitmen penuh menjalani kehidupan rumah tangga


3.       Peran Muslimah dalam Mewujudkan Keluarga Sakinah, Mawaddah, Rahmah
Muslimah harus mampu berperan sebagai kekasih, ibu, dan sahabat dalam keluarga
a.       Sebagai seorang kekasih, maka muslimah harus memiliki kriteria:
·      Taat kepada Allah swt (TQS At Tahrim : 5), salah satu bentuk upaya yang dilakukan oleh muslimah yang taat kepada Allah swt adalah menjaga sholat dan ibadah wajib lainnya, taat kepada suami, menjaga pandangan dan kehormatan diri dan keluarganya.
·         Taat kepada suami (TQS An Nisaa : 34)
·         Lembut dan pemalu (TQS Al Qashas : 25)
·         Pecinta : tidak berharap menerima tapi senantiasa memberi
…………………………………………………to be continue………………………………………………

Notulensi : WA

Jumat, 22 April 2016

24 Bersemi (BERharap SEgala iMpian Indah *pada waktunya*)

Membuka mata pertama kalinya di hari ini, ternyata sudah ada yang menyisipkan doa nya tepat di pukul 00:00 WIB. Terima kasih atas nikmat ukhuwah yang telah Engkau berikan kepada saya hingga detik ini. Inikah berkah robithoh yang selalu terpanjatkan antara saya dan adik-adik binaan saya? Selepas membaca dan membalas ucapan tersebut, saya kembali melanjutkan tidur saya karena jam masih menunjukkan sekitar pukul 02:30 WIB.
Menjelang Subuh, saya kembali terjaga. Bersyukur saya masih diberi kesempatan menikmati indahnya alunan adzan Subuh. Sayang, hari ini saya tak bisa bermunajat padamu dalam sujud panjangku. Bagiku, hari ini bukanlah hari yang istimewa apabila syukurku terhenti dan tanpa adanya do'a-do'a dari orang terkasih (keluarga). Bapak dan Ibu tak pernah lupa akan hari ini, ucapan itu selayaknya lebih layak disandingkan untuk perjuangan kalian. Perjuangan penuh makna dan keikhlasan, tak pernah memperhitungkan tenaga, waktu, dan pikiran. Yang telah sabar menjaga dan mendidik saya sampai usia 24 tahun. Tak banyak yang saya dedikasikan kepada mereka, bahkan di detik-detik seperti ini pun saya masih merepotkan mereka. Dibilangnya saja saya sudah berpenghasilan, namun nyatanya sejauh ini semua itu (mungkin) hanya saya nikmati seorang diri. Tapi, sedikitpun tak pernah saya lihat mereka mengeluhkan itu di hadapan saya. Semoga keberkahan dan rahmat Allah mengiringi langkah Ibu dan Bapak.
Selanjutnya, satu per satu rekan-rekan terdekat mengirimkan ucapan selamat, doa, dan nasihat. Saya bahagia dan haru, menemukan kalian semua di dunia perantauan. Kalian bukan cuma sekadar teman, tapi juga keluarga bagi saya di kota perjuangan ini. Memasuki usia saya saat ini, banyak sekali kejutan kehangatan yang Engkau hadirkan di tengah-tengah saya. Mereka, mungkin belum terlalu mengenal jauh pribadi saya yang seperti apa tapi mau menerima kehadiran saya dalam hidupnya. Terima kasih, terima kasih atas kehangatan dan kelembutan yang kalian berikan.
Tak ada yang patut saya keluhkan, karena Tuhan telah menjamin segalanya sampai detik ini. Tinggal bagaimana saya mampu menghadirkan rasa qana'ah, mengelola setiap jengkal langkah yang saya lewati agar menjadi sebuah nilai pengetahuan, pengalaman, dan hikmah yang kemudian harus saya teruskan kepada orang-orang di sekitar saya, agar mereka pun merasakan keberkahan dari keberadaan saya.

Mengenai resolusi?
Saya tak mau menyebutnya ini sebuah resolusi, saya lebih memilih menyebutkan sebagai proyeksi kebaikan yang akan saya ukir di usia saat ini.
Secara sadar, perlahan namun pasti saya harus dewasa dan bijak dalam meninggalkan zona kenyamanan. Ya, kampus bagi saya merupakan zona nyaman untuk berakselerasi. Tapi, sudah saatnya kita untuk tumbuh dan mewarnai dunia luar sana. Dalam hitungan hari ke depan, saya harus siap dengan suasana dan kawan-kawan baru. Menemui dan membentuk lingkaran-lingkaran baru di luar sana. Karena dakwah merupakan sebuah keniscayaan yang mengubah dari sesuatu yang belum baik menjadi kebaikan.
Untuk mencapai tahapan selanjutnya, saya pun harus memberanikan diri mengambil resiko dari keputusan yang telah saya ambil dan jalani sejauh ini. Saya harus siap memasuki gerbang kehidupan yang selanjutnya. Semoga Allah ridho dan membukakan kemudahan-kemudahan jalan menuju kesana. Semoga itu tercapai di tahun ini.
Melanjutkan dakwah dengan diperkuat oleh organ-organ lainnya, memperdalam ilmu agama lebih serius lagi, agar kelak mampu mencetak generasi-generasi cerdas yang berakhlaq islami berwawasan luar negeri. (Aamiin)

Jumat, 04 Maret 2016

Sudut Penantian

“Kita tak kuasa memilih, akan dengan siapa kelak mengakhiri penantian ini. Tapi kita bisa mengupayakan untuk mengakhiri penantian ini dengan cara yang baik”
Aku masih setia menantimu di sudut ruangan khayalku. Membayangkanmu lewat celah jendela imajiku. Melempar senyum padamu, saat engkau menari di tengah derasnya hujan di luar sana. Aahh.. sayangnya itu hanya ada dalam imajiku. Tapi aku yakin, bukan hanya aku yang mulai resah dengan kondisi seperti saat ini. Aku bukan tak mampu untuk mengambil keputusan, atau bahkan tak yakin dengan apa yang kumiliki saat ini.
Kadang memang keinginan tak selalu harus terwujud sesuai dengan harapan. Adakalanya kita harus bersabar, untuk menyempurnakan beberapa keping puzzle yang terserak di bumi Allah ini. Kadang kita harus berpikir untuk menelisik misteri teka-teki Sang Illahi. Tapi satu hal yang aku yakini sampai detik ini, bahwa skenario-Nya selalu lebih indah dari apa yang kita rencanakan.
Aku sepakat dengan sebagian orang, bahwa menunggu adalah hal yang paling tidak mengenakkan. Tak ada yang suka, apalagi dalam sebuah ketidakpastian. Tapi aku memilih untuk mengurai ketidakpastian itu menjadi sebuah keniscayaan, dengan cara menikmati setiap detik yang Allah berikan padaku untuk terus memperbaiki diri.
Berpetualang ke belahan bumi Allah yang belum sempat dikunjungi, mendalami ilmu Allah yang maha luas, memprioritaskan keluarga di atas segalanya, serta menyibukkan diri dengan hal yang bermanfaat, itulah jalan yang aku pilih untuk mengisi masa-masa penantian itu. Karena aku yakin, ketika aku berusaha untuk memperbaiki diri dalam penantian ini, kamu pun di sana sedang melakukan hal yang sama.

Seketika, aku tersadar dari lamunan. Masih ditemani rintik hujan, suara adzan maghrib, dan kesendirian..

Berasabar Dalam Kesetiaan

https://eapriani51.files.wordpress.com/2013/03/waiting.jpg

Sabar bagi setiap orang adalah sesuatu yang mudah diucapkan namun sulit direalisasikan. Karena kita semua tahu bahwa namanya godaan kehidupan selalu ada. Baik itu datangnya dari diri sendiri maupun dari luar.
Sabar, entah aku yakin atau enggak kalau itu tiada batasnya. Namun nyatanya ketika sudah sampai pada puncak atau bisa dibilang stuck dalam satu tekanan seringkali kesabaran itu hilang.
Pun juga dalam hal penantian. Menanti kamu yang kelak menjadi calon imamku. Bukanlah hal yang mudah. Mempersiapkan hal tersebut pun bukan hal yang mudah. Persiapan ruhani, jasmani, finansial, keluarga, termasuk mempersiapkan cara ketemu kamu.
Dulu, entah kenapa begitu yakin. Namun setelah semua dibukakan rahasia dibalik semua itu mulailah muncul rasa ragu-ragu. Apakah mungkin ini trik syeitan untuk mengelabuhi hati manusia?
Pun juga hal itu terjadi di kamu, semoga sabar senantiasa menjadi pengokoh diri kita. Semoga doa-doa yang terpanjatkan mampu menembus arsy-Nya sehingga mempertemukan kita dalam satu ikatan mitsaqan ghalizhaa.